1 Komentar

Empang Kosong – Cerpen Ilham Q. Moehiddin

EMPANG KOSONG

Cerpen Ilham Q. Moehiddin

Tradisional (Sumber Wilhem Gross)

“JASHAR bilang, ikan Nila sedang mahal sekarang ini, Ros!”

Rayu Tamim pada Rostini, istrinya, yang saat itu sibuk menjerang sayur untuk makan malam mereka.

Tamim jongkok di sisi Rostini sambil mengunjukkan wajah memelas. Rostini bertahan tak mau melihat wajah suaminya jika sedang bersikap begitu. Sejak semalam, di ranjang, Tamim sudah merayunya. Mulut Tamim sekadar berhenti bicara soal empang dan ikan Nila hanya saat dia merenggangkan selangkangan Rostini dan sibuk di sana sekitar lima menit. Setelah hajadnya tunai, mulutnya mulai mencacau lagi. Rostini bahkan tak tahu kapan Tamim berhenti, sebab Rostini terlelap tanpa sengaja.

Jashar, kawan sekerja suaminya, memang pernah cerita perihal keuntungan menambak ikan Nila Merah dalam obrolannya dengan Tamim, saat mereka istirahat di kedai kopi Imah, di luar pagar pelabuhan. Kedua berkawan ini, sudah dua tahun lalu, bekerja sebagai kuli panggul di pelabuhan. Jashar menyebut-nyebut soal keuntungan besar apabila empang Nila panen sesuai rencana. Mulut Tamim sampai-sampai terbuka, tercengang mendengar jumlah uang yang disebut-sebut Jashar. Entah darimana si Jashar memperoleh beragam informasi soal bertambak ikan Nila Merah, sedang dia sendiri tak punya warisan tanah empang seperti dirinya.

Empang miliknya itu tak besar, cuman sekitar 50 x 25 meter per segi. Letaknya persis di belakang rumah kecilnya. Empang itu warisan ayahnya yang meninggal dua tahun silam. Begitu diwariskan, Tamim dan Rostini langsung pindah ke sana. Bermodal seadanya, Tamim memperbaiki rumah kecil di samping empang. Tapi, ketika itu modalnya tak cukup untuk membiayai pengelolaan empang. Ayahnya hanya mewariskan padanya empang itu saja, tanpa uang tunai sama sekali. Dua tahun mereka mukim di situ, Rostini melahirkan dua anak yang umurnya berpaut setahun.

Kata-kata Jashar sungguh mempengaruhi Tamim. Empat hari dipikirkannya, dan baru pada hari kelima dia berani menyinggungkannya pada Rostini. Dia tahu mereka tak punya uang sama sekali. Satu-satunya harapan Tamim untuk rencananya itu adalah cincin milik Rostini, yang dulu dimas-kawinkannya buat perempuan itu.

Demi agar Rostini mau memberi cincinnya, Tamim rela melepas martabatnya barang sebentar, merayu istrinya itu hingga seolah memelas. Kini, tinggal menunggu putusan istrinya saja, maka empang itu akan segera terwujud.

***

Pada akhirnya Rostini menyetujui niat Tamim. Perempuan kurus itu menggadaikan satu-satunya harta miliknya yang paling berharga saat ini. Rostini tak peduli masih ada beberapa hutang mereka pada rentenir yang sebentar lagi jatuh tempo. Dia sangat berharap Tamim akan bersungguh-sungguh, dan mereka bisa menikmati laba dari hasil menambak di empang kecil itu.

Jika Tamim gagal, entah apalagi yang mesti diperjuangkannya. Tanah warisan mertuanya cuman sedikit. Hendak dijual pun, tak ada yang mau beli. Lalu setelah itu mereka berempat hendak tinggal di mana? Tanah di sekitar muara tak begitu diminati pembeli, sebab jauh jaraknya dari lokasi gudang pelabuhan. Parahnya, lokasi tanah mereka berjarak 200 meter dari jalan besar, dan 1.5 kilometer dari muara.

Dua anaknya masih kecil-kecil. Yang sulung saja umurnya baru dua tahun. Kebutuhan kedua anaknya pun tidak sedikit. Termasuk masih harus menbayar mahal bila mereka berdua sakit. Pembebasan biaya berobat yang dibilang pemerintah itu, seperti tak berlaku di wilayah pinggiran macam ini. Setiapkali anaknya sakit, Rostini harus menebus obat sedikit lebih mahal dari harga obat yang di jual di kios pinggiran jalan. Jangan tanya soal surat keterangan miskin dari kelurahan. Surat keterangan itu sudah lama dia buang, sebab ternyata tak berguna sama sekali.

Kini satu-satunya yang berharga padanya sudah dibawa pergi Tamim. Semua pikiran tentang kondisi hidupnya dan kedua anaknya itulah yang membuat Rostini menunda menyetujui permintaan Tamim tempo hari. Dia bisa stress karena memikirkan semua kebutuhan hidup keluarga kecil ini selanjutnya.

***

Setelah menggadaikan cincin istrinya, Tamim segera menuju Balai Benih Ikan. Untung saja harga emas sedang naik, sehingga hasil penjualan untuk cincin seberat tiga gram, lumayan banyak. Semoga saja, setelah dikurangi harga bibit ikan dan pakan, sisanya masih cukup banyak untuk diberikan pada istrinya. Begitu harapan Tamim.

Tapi, di Balai Benih Ikan, Tamim harus menelan ludahnya sendiri. Untuk empang seluas miliknya itu, dia harus membenam 25.000 ekor bibit ikan yang seukuran dua jari orang dewasa. Artinya, per meter akan berisi 20 ekor bibit ikan. Ini hitungan pas. Sebab jika terlalu banyak, maka bibit ikan akan mati, dan jika terlalu sedikit, maka dia tak akan balik modal. Tamim akhirnya memutuskan yang terbaik baginya.

Kini di boncengan sepedanya, tersusun rapi sekarung besar pakan ikan, dan lima kantong besar berisi bibit ikan. Dia harus hati-hati membawa bibit-bibit itu, sebab jika pecah, maka dia akan rugi besar.

Hatinya lapang dan tenang setelah usai menuang semua bibit ke empangnya. Hati yang diliputi bahagia membuatnya lupa pesan Wak Rasyid, pemilik empang lainnya, mempesankan agar Tamim lebih dulu menguatkan tanggul empang sebelum memasukkan bibit ikan.

***

Hati Rostini gundah luar biasa. Setelah Tamim berbelanja bibit ikan, dia hanya mengembalikan 75 ribu rupiah. Uang sejumlah itu tak akan membuat mereka berempat hidup seminggu, sedangkan suaminya menerima upah seminggu sekali dari mandor pelabuhan. Tamim harus bekerja lebih giat lagi di pelabuhan untuk mencukupi kebutuhan mereka di minggu berikutnya.

Ingin sekali Rostini membantu suaminya. Tapi sayang, tidak ada pekerjaan yang memberikan upah walau hanya dikerjakan di rumah saja. Tidak satupun ada perusahaan yang mau memberikan pola plasma di sekitar situ. Ada lowongan di perusahaan pengalengan ikan, namun sayang yang diterima hanya perempuan yang belum menikah atau tanpa anak.

Sejak hari itu, Rostini sudah tak bisa berkumpul bersama ibu-ibu lainnya dalam arisan PKK. Dia berutang dua bulan di situ. Pemilik toko sembako di simpang keluarahan sudah pula datang padanya, menagih piutang selama dua bulan ini. Si pemilik toko datang setelah mendapat kabar bahwa Tamim barusan belanja bibit dan pakan ikan, dan sedang mengupayakan empangnya lagi. Rostini sudah berusaha meyakinkan si pemilik toko tentang cerita sebenarnya. Tapi, si pemilik toko justru mencibirnya, dan menyebut dia dan suaminya sebagai pasangan pembohong. Sebelum pulang, dia mengancam, jika Rostini tak membayar utangnya, maka masalah itu akan diadukannya pada lurah.

Dua masalah itu saja sudah cukup membuat kepalanya nyaris pecah. Barangkali dia akan gila jika pemilik peralatan dapur yang dahulu dikreditkan padanya datang menagih juga. Bulan lalu saja dia sudah menunggak, dan diancam akan dikenakan bunga tinggi. Jika bulan ini tak juga dibayarnya, maka bunganya akan bertambah. Tamim sudah diberitahukannya, dan suaminya itu berjanji akan mengusahakan agar mandor memberinya panjar upah kerja. Tapi Rostini tak bisa percaya sepenuhnya. Dua pekan lalu saja, Tamim bermohon untuk hal yang sama, tapi ditolak.

Malam itu, Rostini terjebak ketakutan-ketakutan dalam pikirannya sendiri. Matanya menatap kosong, ke arah kedua anaknya, yang tertidur pulas setelah melahap bubur yang diaduk bersama gula putih.

***

“Air datang! Menyingkir… Air datang!!”

Wak Rasyid berlari menembus hujan badai sambil berteriak kesetanan. Setelah melompati pagar dan menggedor pintu rumah Tamim, Wak Rasyid berbalik kembali ke rumahnya. Lelaki tua itu berlari memutari rumahnya dan menendang pintu kandang kambing sambil berseru-seru. Kambing-kambingnya berlarian keluar, ikut bersamanya menembus hujan. Istri dan anak-anaknya sudah diselamatkannya lebih dulu.

Sedari sore, Wak Rasyid berdiri di belakang rumahnya, sambil memegang payung. Hujan sedari pagi membuatnya khawatir. Menurut pengalamannya, setiap kali hujan seharian penuh di musim penghujan macam ini, maka air akan berangsur naik. Kadangkala, air hanya perlahan saja merambat naik. Tapi tidak kali ini. Air begitu cepat mencapai pancang pemancingan, tempat yang tandai Wak Rasyid sebagai batas normal ketinggian air. Jika air sudah merendam pancang itu, artinya hulu sungai sedang tak bersahabat.

Benar saja dugaan Wak Rasyid. Air datang bergulung dan ikut menyeret sampah kayu dari hulu, menghantam pancang hingga hancur dan ikut hanyut terbawa air. Menurut perhitungannya, akan berselang 15 menit dari hanyutnya pancang itu, air akan mencapai pekarangan belakang rumahnya dan segera merendam dapur.

Semua tetangganya sudah dia peringatkan. Beberapa orang lainnya juga sudah menyebar untuk memperingatkan sekian banyak warga yang tinggal di dekat sungai agar segera menyingkir. Dia sendiri segera menuju balai kecamatan untuk bergabung bersama warga lainnya.

Setibanya Wak Rasyid di sana, dia heran, tak ditemuinya Tamim dan keluarganya. Ah, barangkali, mereka mengungsi di lain tempat. Balai ini saja sudah hampir dipenuhi orang.

Semakin larut, air sungai semakin naik. Air kemudian surut perlahan bersamaan dengan berhentinya hujan-badai saat larut malam. Menjelang pagi, air ikut surut, kendati masih cukup berbahaya karena arusnya cukup kuat di tengah sungai.

***

Tamim mencengkerem lengan Wak Rasyid. Matanya merah.

“Mengapa…Wak…tak…memeriksanya…sekali lagi?” Tanya Tamim terbata-bata.

Tapi Wak Rasyid bergeming. Lelaki tua itu juga sedang diliputi perasaan bersalah, sehingga menurutnya, bicara hanya akan memperkeruh suasana. Sepengetahuannya sudah semua warga diberitahukannya soal datangnya air besar.

Hati Tamim benar-benar terpuruk. Dia lunglai, matanya menatap kosong ke arah empang dan rumahnya.

Air telah menjebol tanggul empang di sisi utara, sehingga tanpa bisa dicegah, air menyapu rumahnya, mendorongnya hingga tumbang masuk empang. Jika saja tanggul di sisi selatan dan barat ikut roboh, tentu kerangka rumahnya akan terbawa air hingga ke muara.

Tamim rupanya tak ada di rumah ketika kejadian itu. Sepulang mereka dari pelabuhan, Dia dan Jashar terlambat mencapai jembatan. Keduanya harus bernaung sebab mereka dihadang angin kencang dalam perjalanan. Saat mencapai jembatan, mereka sudah terlambat. Ratusan orang tertahan dan berkerumun tak jauh dari lokasi jembatan yang telah putus dihanyutkan air.

Semua orang akhirnya menunggu hingga pagi menjelang. Bersama beberapa prajurit dan SAR, mereka membangun jembatan darurat dari lima pokok kelapa yang diikat menyatu. Orang-orang SAR itu bilang mereka harus mendahulukan evakuasi korban manusia.

***

Setelah para korban meninggal dibersihkan dan dikafani, orang-orang mempersiapkan penguburan. Tamim berdiri sejenak dan memandang onggokan kerangka rumah dalam empang miliknya, yang kembali kosong, tersapu air. Matanya berganti memandang kakinya sendiri. Perih hati Tamim, membayangkan bahwa di tempatnya berdiri itu, tadinya berdiri rumahnya.

Di antara puing-puing rumah di tengah empang, orang-orang menemukan istri dan kedua anaknya. Terbenam, tubuh mereka memutih pias.

Membayangkan wajah-wajah orang yang dicintainya, Tamim terhuyung, menubruk pohon, dan merosot ke tanah. Dalam kepiluan dan rintihan, lelaki itu meraung sekuat-kuatnya. (*)

Kendari, 2011

Sumber tulisan dari SINI

______________

Ilham Q. Moehiddin

About Kumpulan Fiksi

Blog ini bertujuan untuk menghimpun dan berbagi karya-karya fiksi dan yang terkait. Karya fiksi diantaranya cerita pendek atau cerpen; cerita bersambung atau cerbung; novel; dan puisi. Tulisan lainnya berupa resensi atas karya-karya fiksi, profil pekerja seni, catatan atau ulasan yang terkait dengan penulisan, dan sebagainya. Rubrik masih bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Semoga bisa menjadi ajang untuk melatih diri berkarya, dan berharap pula bisa meramaikan jagad sastra Indonesia. Jadi, bila anda memiliki karya, tidak usah meragu untuk mengirimkan karya anda ke: kumpulanfiksi@gmail.com

1 comments on “Empang Kosong – Cerpen Ilham Q. Moehiddin

Tinggalkan komentar