Tinggalkan komentar

Remember (Bab 10 -Tamat) – Cerbung Loganue Saputra Jr

REMEMBER

Cerbung Loganue Saputra Jr

(Foto: Sumali Ibnu Chamid)

(Foto: Sumali Ibnu Chamid)

BAB 10

Aku tak pernah mengira, Tuhan akhirnya mengambil Kakek dariku. Sejak kecil aku sudah kehilang kedua orang tuaku, bahkan berjumpa dengan mereka pun aku tidak pernah, dan saat aku sudah berusia 7 tahun serta mulai mempertanyakan hal itu pada Kakek, mengapa aku tidak memiliki kedua orang tua seperti anak-anak yang lain. Kakek pun menjelaskan segalanya padaku, dia memberitahuku bahwa Ayahku meninggal di saat Ibu mengandung diriku, Ayahku meninggal di sebuah kecelakaan pesawat menuju ke Laurtomi sedangkan Ibuku meninggal dunia ketia dia melahirkanku. Saat Kakek menjelaskan itu aku memang sedih, tapi tidak juga terlalu sedih, aku merasa kehilangan tapi tidak terlalu kehilangan, mungkin karena sejak awal hidupku aku tidak pernah memiliki sedikit pun memori tentang mereka, yang bisa mengingatkanku pada mereka hanyalah selembar foto hitam putih yang bagiku berisi dua wajah asing yang sama sekali tidak kukenal. Kata Kakek mataku mirip Ibuku sedangkan alis dan hidungku mirip Ayahku, tapi ketika aku lihat dengan seksama di foto hitam putih itu, sedikit pun aku tidak pernah merasa demikian. Dan sekali lagi aku berpikir bahwa; mungkin karena aku tidak pernah mengenal mereka dengan baik, maksudku tidak sebaik aku mengenal Kakek Francisko.

Dan kali ini aku kehilangan Kakekku, aku benar-benar kehilangan, rasa kehilangan yang aku rasakan begitu menyesak dada, perih dan menyedihkan. Aku menangis seperti musim hujan yang seolah tidak akan pernah berjumpa dengan kemarau. Saat Kakek dimasukkan ke dalam peti matinya, aku tak rela hal itu terjadi, begitu juga saat peti matinya dikuburkan, aku meronta dan tak kuasa menghadapi itu semua.

Saat Kakek dikuburkan, Irma dan Karer datang mencoba menguatkan diriku. Saat itu kami sedikit pun tidak membahas tentang masalah kami, maksudku lebih tepatnya masalahku atas hubungan mereka, saat itu bukanlah saat yang tepat untuk membahas itu semua. Aku bersyukur diberikan Tuhan sahabat seperti mereka berdua, ada di saat-saat sulit dalam hidupku, mencoba membuat aku kuat untuk menghadapi cobaan yang Tuhan berikan padaku. Tapi aku pun sadar betul bahwa tak selamanya mereka berdua bisa melakukan itu untukku, aku harus belajar mandiri dalam menghadapi krisis yang sedang melanda kehidupanku, aku harus bisa bertahan dari gelombang kehidupan yang kejam tak kenal ampun.

Orang-orang yang datang ke acara pemakaman Kakek, satu persatu pergi kembali pulang, hingga akhirnya yang tersisa hanyalah aku dan dua sahabat baikku. Aku duduk di samping tanah merah tempat Kakekku disemayamkan, aku termenung dengan air mata yang terus menetes tak terbendungkan. Dari sekian banyak rasa sakit yang pernah aku rasakan, hari itu adalah hari paling menyakitkan dalam hidupku, hari yang tak pernah aku inginkan ada di dalam hidupku, hari yang menurutku Tuhan berikan untuk aku kenang seumur hidupku, dan bahkan ketika aku mati nanti pun aku ingin selalu ingat hari itu, hari menyakitkan yang tidak ingin aku hapus dari ingatan.

Malam sehari setelah pemakaman Kakek, aku terjaga hingga langit menjadi terang, aku berbaring di kamar Kakek dan mencoba merasakan keberadaannya tidak sebenarnya tidak pernah ada lagi. Kubuka lemari pakaiannya kutatapi semua pakaiannya yang tergantung agar aku bisa mengingat memorinya saat dia mengenakan pakaian-pakaian itu, lalu tatapanku tertuju pada sebuah peti kayu yang terkunci dengan sebuah gembok kecil. Aku menariknya keluar, meletakkannya di tengah kamar, lalu membuka peti tadi dengan kasa menggunakan palu. Saat aku buka ternyata peti itu berisi sebuah buku harian Kakek. Kutatapi sampul buku itu kemudian kusapu pelan, namun tak ada keberanian bagiku untuk membukanya, aku belum siap membaca semua memori yang mungkin akan membuat aku menjadi lemah dan tenggelam di dalam kesedihan yang begitu panjang. Buku tadi pun aku masukkan kembali ke dalam peti lalu kusimpan ditempatnya semula. Mungkin suatu saat akanku buka dan aku baca jika waktunya sudah tiba nanti. Pikirku sembari menutup kembali pintu lemari.

~

Setelah Kakek meninggal dunia, aku hidup sendiri dengan sisa uang tabungan yang memang sudah Kakek persiapkan untukku, jikalau hal seperti itu akan terjadi. Walau pada kenyataannya uang bisa habis tapi uang itu sangat membantuku untuk terus bertahan, hingga sekolahku usai di kelas 9. Aku tidak terpikir untuk melanjutkan sekolah walau sebenarnya aku sangat ingin sekolah. Sekolah membutuhkan biaya yang cukup besar apa lagi disaat Negara sedang menghadapi perang yang akan menyalut penderitaan di setiap lapisan kehidupan. Sekolah umum banyak yang tutup, apalagi yang berada di tengah kota,  yang bertahan hanyalah sekolah dengan pasilitas asrama di suatu kawasan yang sangat jauh dari perkotaan. Kata orang-orang alasannya karena daerah kota merupakan daerah rawan pemboman lewat udara.

Aku masih ingat saat kegelisahan pertamaku ketika mendengar berita tentang pergerakan tentara Exona di Naugrelia. Berita itu aku dengar dari percakapan Kakek dengan Paloti—teman kakek yang berasal dari Naugrelia—di suatu malam. Dan setelah Paloti pulang aku langsung menanyakan hal itu pada Kakek dan saat itu Kakek memberitahuku bahwa perlu waktu yang cukup lama untuk tentara Exona bisa sampai ke Galibian. Tapi ternyata aku baru mengerti sebenarnya Kakek berkata seperti itu hanya untuk membuat aku tidak gelisah, padahal hanya memerlukan waktu dua tahun bagi tentara Exona untuk mencapai Galibian, walau dari berita yang kudengar bahwa Naugrelia tidak sepenuhnya dikuasai oleh Exona.

Seminggu setelah kelulusan kami dari kelas 9, Karer mendatangiku ke rumah, dia tidak bersama Irma karena saat itu Irma berada di Palenta. Karer dengan bersemangat memberitahuku bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di Aprendizagem, sebuah sekolah asrama yang terletak di wilayah pedesaan Wardu 40 KM dari Palenta.

“Bagaimana denganmu?,” tanya Karer setelah dia usai menceritakan tentang rencana sekolahnya itu.

Aku diam sejenak berpikir, mencari jawaban yang akan aku berikan. “Aku tidak melanjutkan,” ucapku dengan nada kecewa dan saat aku memberitahunya dia terlihat sama kecewanya denganku. “Aku sudah diterima bekerja di kedai minuman Pak Wahyu.”

Karer diam seakan menunggu aku melanjutkan kata-kataku yang menurutku sudah usai. Mungkin dia memintaku untuk menjelaskan alasan mengapa aku tidak melanjutkan sekolah, tapi aku percaya dia pun tahu alasannya, jadi aku tidak menjelaskan hal itu, aku memilih untuk merubah tema pembicaraan kami tentang Irma.

“Bagaimana dengan Irma?,” tanyaku sambil memaksakan senyuman.

“Dia juga akan melanjutkan di Aprendizagem,” kali ini Karer terlihat tidak enak ketika memberitahukan prihal itu padaku. Mungkin menurutnya itu bisa menyakiti hatiku. Semenjak Kakek meninggal dunia Karer selalu mencoba menjaga perasaanku, mungkin karena dia kasihan dengan keadaan dan beban yang aku miliki sehingga dia tidak ingin membuat pikiranku bertambah berat.

“Aku bisa lega,” ucapku, membuat Karer terlihat heran. “Jika ada kau didekatnya maka akan ada yang menjaganya.”

Wajah Karer terlihat tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya padaku.

Pada akhirnya kami bisa saling mengerti dengan keadaan kami, walau aku tak pernah bisa menyingkirkan perasaan cintaku pada Irma, tapi aku sudah merelakan bahwa Irma memang lebih baik bersama Karer daripada bersamaku. Menurutku Karer lebih memiliki masa depan daripada diriku, dan itu baik untuk Irma. Membiarkan orang yang kita cintai bersama orang lain yang jauh lebih baik daripada kita adalah tindakan terbaik, bukan berarti tidak sayang atau pun tidak cinta lagi. Karena menurutku cinta tak harus dimiliki, cinta hanya perlu dirasakan dan dibumbui dengan harapan bahwa suatu saat jika memang Tuhan menggariskan maka cinta itu pasti akan menemukan satu sama lainnya. Begitu juga dengan Karer, setelah dia melihat begitu banyak masalah hidup yang aku hadapi, dia selalu menjaga perasaanku, dia selalu menghindari perbincangan yang menyangkut tentang Irma terutama tentang hubungannya walau pun aku sangat sering menanyakan hal itu.

Ketika hari sekolah sudah tiba, Irma tidak pernah lagi datang ke Dulbia pada saat hari libur, jadi aku hanya bisa mendengar kabarnya dari Karer saja itu pun hanya saat-saat Karer ada libur dan kembali ke Dulbia untuk mengunjungi orangtuanya. Aku sudah cukup senang jika mendengar kabarnya baik-baik saja, mengingat serangan tentara Exona sudah semakin parah dibeberapa bagian wilayah. Dan setelah suatu ketika Karer mendengarkan keluhan kerinduanku pada mereka berdua dan ingin melihat perkembangan kehidupan mereka yang pastinya menyenangkan, maka dia pun mulai menuliskan beberapa surat untukku, dan disetiap surat itu dia selipkan foto-foto mereka berdua dengan berlatarkan pemandangan indah hijau dan nyaman di asrama Aprendizagem.

Sebenarnya aku sangat iri para mereka berdua, bisa sedekat itu, bisa bersekolah bersama, menghabiskan waktu bersama, tapi aku tahu tak mungkin aku berada di antara mereka berdua, lagi pula kesibukanku di Oren—nama kedai minuman tempat aku bekerja—tak bisa aku tinggalkan. Setiap malam Oren selalu penuh dengan pengunjung baik para pendatang yang mencoba lari dari kota tempat mereka tinggal karena serbuah tentara Exona mau pun penduduk setempat yang mencoba menenangkan diri dengan minum-minum dari ketakuan akan berita pergerakan tentara Exona yang sudah semakin dekat.

Aku selalu mendengarkan perbincangan para pelanggan yang mendiskusikan masalah perang, entah dari mana mereka mengetahui berita-berita mengerikan itu, mereka membicarakan tentang kekejaman tentara Exona, serta pemboman dan juga serbuan yang menurut mereka tak lama lagi akan sampai ke Dulbia. Dan yang membuat aku meresah adalah ketika beberapa orang yang berasal dari Palenta berceria bahwa tentara Exona sudah mencapai Palenta dan menyerbu beberapa sekolah yang masih buka. Pikiranku langsung teringat kepada dua sahabatku, bagaimana dengan mereka, apakah tentara Exona juga sudah mengambil alih Aprendizagem juga, lalu bagaimana nasip Irma dan Karer.

Tapi aku kembali tenang seminggu kemudian surat dari Karer datang, dalam surat itu dia menceritakan tentang keadaan mereka yang baik-baik saja. Ternyata ocehan orang-orang di Oren itu hanyalah isapan jempol belaka, kadang mereka terlalu berlebihan dalam bercerita agar ada banyak pelanggan lainnya yang mendekat, memperhatikan dan berkerubun dalam senyap mendengarkan cerita yang mereka anggap baru dan penting untuk didengar.

Setahun kemudian keadaan semakin buruk, Exona berhasil menguasai profensi Wakalimo, daerah paling barat dari Galibian, dan sejak saat itu juga Karer tak pernah kembali ke Dulbia, karena orangtuanya pindah ke Palenta agar bisa dekat dengan anak mereka. Kini yang bisa aku ketahui tentang Karer dan Irma hanyalah informasi yang aku dapatkan lewat surat yang dikirimkan oleh Karer dan Irma padaku. Dan semakin lama surat-surat itu semakin jarang hingga akhirnya tak lagi datang sama sekali. Apakah mereka lupa dengan keberadaanku atau mereka sedang dilanda kesibukan dengan urusan sekolah mereka. Tapi meski pun demikian aku harus tetap menjalani hidupku, dan berharap suatu saat bisa berjumpa dengan mereka berdua dalam keadaan yang lebih baik.

Di rumah yang sepi, ketika lewat tengah malam sepulang aku dari Oren aku sering kali terjaga dengan tubuh terbaring kaku di atas tempat tidur dan memikirkan banyak hal yang dulunya aku miliki. Dan semuanya itu seakan tiba-tiba saja menghilang begitu saja. Aku berpikir, ternyata tak ada hal abadi yang bisa dimiliki oleh hidup, ketika aku masih di dalam rahim mungkin aku berharap bisa melihat kedua orangtuaku, namun nyatanya setelah aku dilahirkan di dunia ini, aku tak pernah melihat mereka berdua dengan nyata. Dan kemudian setelah cukup lama aku mengenal Kakek dan hidup bersamanya dalam susah dan senang, dia pun diambil dariku, dan dengan beruntun semuanya diambil dari hidupku, mulai dari impianku untuk sekolah, kedua sahabtku, cintaku dan mungkin suatu saat hidupku juga akan diambil. Namun semua renteten pristiwa yang terjadi dalam hidupku pastilah ada tujuannya, walau saat itu aku berpikir bahwa semua itu adalah hal buruk yang terjadi dalam hiduku, padahal aku tak pernah tahu rahasia Tuhan di balik itu semua, rahasia yang mungkin saja adalah jalan terbaik yang akan aku miliki.

~

About Kumpulan Fiksi

Blog ini bertujuan untuk menghimpun dan berbagi karya-karya fiksi dan yang terkait. Karya fiksi diantaranya cerita pendek atau cerpen; cerita bersambung atau cerbung; novel; dan puisi. Tulisan lainnya berupa resensi atas karya-karya fiksi, profil pekerja seni, catatan atau ulasan yang terkait dengan penulisan, dan sebagainya. Rubrik masih bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Semoga bisa menjadi ajang untuk melatih diri berkarya, dan berharap pula bisa meramaikan jagad sastra Indonesia. Jadi, bila anda memiliki karya, tidak usah meragu untuk mengirimkan karya anda ke: kumpulanfiksi@gmail.com

Tinggalkan komentar